Senin, 19 Januari 2009

Menyusuri Letak Macetnya Dampak Positif penurunan Harga BBM

Menyusuri Letak Macetnya Dampak Positif penurunan Harga BBM
pada Sektor Riil di Indonesia.


Penurunan harga BBM di Indonesia di akhir tahun 2008 dan di awal tahun 2007 merupakan sebuah lip servis politik saja. Penurunan harga BBM tidak diikuti dengan penurunan tarif angkutan, listrik, telpon, air minum dan kebutuhan konsumen lainnya. Penurunan harga BBM ini banyak pihak hanya menyebutnya sebagai komoditi politik menjelang pemilu 2009.
Penurunan harga BBM yang tidak diikuti dengan penurunan harga-harga kebutuhan pokok ini disebabkan oleh karena memang BBM bukanlah instrumen regulasi yang efektif, dibanding kebijakan lain seperti Subsidi langsung, kenaikan subsidi, penurunan pajak dan tarif, harga cukai, tidak meberi efek dan dapak yang lansung pada penurunan harga-harga.
Bukan memihak pada siapapun bahwa fluktuasi harga yang tidak stabil adalah tidak menguntungkan bagi berbagai pihak, baik pengusaha di satu sisi dengan masyararakat di satu sisi. Karena penurunan harga ini hanya menjadikan surplus produksi bagi produsen dan menambah keuntungan di kalangan produsen saja, selama kebutuhan akan permintaan dipenuhi dan diperoleh keuntungan yang memadahi perusahaan tidak akan menurunkan harga sebelum keuntungan yang diinginkan akan dipenuhi.
Pemerintah tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang efektif saat ini, karena liberalisasi telah menjadikan pemerintah hanya dalam wilayah pembuat kebijakan dan tidak dapat mengendalikan kebijakan secara efeltif. Karena kepemilikan cabang-cabang produksi yang mengusai hajat hidup orang banyak telah dikuasai oleh swasta ataupun badan usaha milik negara yang sahamnya banyak dikuasai swasta dalam negeri dan swasta asing.
Letak ketidak efektifan inilah yang mulai menjadi pemikiran bahwa bebarapa cabang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Namun sudah terlambat ataupun lancung dimana selama dikuasai oleh aparat pemerintah atau negara terjadi korupsi disana-sini, serta infefesiensi dan inefektifitas kerja, sehingga bangkrut sehingga banyak dibeli oleh swasta atau investor. Lebih parah lagi investor asing.
Baru dirasakan saat ini bahwa privatisasi mengakibatkan dampak yang merugikan pemerintah dan rakyat. Pemerintah menjadi tak berdaya mengatasi kondisi ekonomi dan melakukan kebijakan untuk menyejahterakan rakyatnya. Perlu disadari pula bahwa pemerintah sudah terlalu banyak memberikan fasilitas yang begitu banyak pada swasta.
Pentingnya nasionalisasi kembali perusahaan yang mengusasi hajat hidup orang banyak dalam hal ini BUMN telah menjadikan pemikiran yang lebih serius. Sedangkan kedaulatan ekonomi telah tidak dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah saat ini tidak memiliki kekuatan dan kewenangan di bidang ekonomi kecuali hanya memberikan himbauan.
Pemerintah yang sudah lama tidak mendapat kepercayaan rakyat dan Internasional menjadikan kesulitan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan pada rakyat dan dunia Internasional. Sehingga rupiah tidak dapat menguat dan terpuruk. Kekayaan alam yang melimpah ruah bukan lagi menjadi milik pemerintah tapi telah menjadi milik swasta asing dan kapitalis global. Kelangkaan bahan baku, bahan bakar, pupuk dan barang konsumen dimana-mana, sehingga mendorong harga-hrga melambung tinggi. Pengangguran dimana-mana dengan dibubarkannya perusahaan dalam negeri dan direlokasikan di luar negeri dengan alasan buruh mahal. Ketidak pastian hukum di Indonesia, dan kestabilan politik yang kurang stabil menjadikan larinya investor asing.
Kalau hal ini berlangsung terus menerus dikhawatirkan akan terjadi gejolak sosial akibat kesenjangan sosial dan kemiskinan di mana-mana. Kesenjangan ekonomi ini mengakibatkan kecemburuan sosial dan gejolak sosial yang kan menurunkan stabilitas politik di Indonesia. Sedangkan stabilitas adalah kunci bertahannya investor di Indonesia. Proses demokrasi yang berlebihan akan mememunculkan ketidakseimbangan baru di dalam pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah miskin otorita dan legitimasi, karena pemerintah belum mampu untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Karena pemerintah belum mampu untuk melakukan good corporate governance dan meningkatkan clean government. Pengawasan keuangan negara lebih ketat belum bisa dilakukan, karena budaya lama masih ada dengan masih bercokolnya pejabat-pejabat bekas orde baru yang korup saat ini, bahkan mendapatkan posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan masyarakat.
Kesempatan berusaha dan melakukan usaha yang sehat belum dapat dijamin, dimana masih diijinkannya pejabat, DPR dan pegawai negeri memiliki usaha swasta, hal ini mengakibatkan kelesuan bagi swasta murni dalam negeri untuk bersaing. Ketidak sehatan ini menurunkan minat rakyat terutama generasi muda untuk berwiraswasta, karena merasa tidak ada perlindungan, perilaku yang adil, antara swasta murni dengan swasta tanda petik semi pemerintah dan pejabat apabila dengan swasta asing. Belum lagi pungutan liar yang dilakukan oleh pihak-pihak penguasa tidak bertanggung jawab.
Penurunan harga BBM yang tidak diikuti dengan penurunan harga-harga komoditi tidak semata-mata kesalahan pengusaha, karena kita masih banyak melihat pajak berganda dimana-mana. Sehingga harga-harga menjadi lebih tinggi, karena adanya ekonomi biaya tinggi, yang pada masa-masa sekarang jarang digembar-gemborkan lagi. Ekonomi biaya tinggi tidak dapat dicabut begitu saja dalam sistem pemerintahan dan ekonomi di Indonesia.
Pendapatan pemerintah yang hanya dari pajak dan mulai dihapuskannya bea masuk dan fiskal karena perdagangan bebas membuat berkuragnya sumber baru pendapatan pemerintah. Pemerintah harus berusaha mencari sumber lain dari rakyat diluar hutang luar negeri. Pemerintah harus menekan biaya serenfdah-rendahnya dengan efesiensi, efektifitas dan profesionalisme aparatur negara, dengan menekan biaya-biaya yang tidak perlu, sedangkan selama ini aparatur pemerintah telah lama dimanjakan oleh fasilitas.
Pemerintah akhirnya mau tidak mau hanya meningkatkan perluasan penerimaan pajak. Sedangkan otonomi daerah semakin memberatkan rakyat karena gencarnya pemerintah daerah untuk mencari sumber Pendapatan asli daerah yang membabi buta, tanpa memperhatikan pelayanan masyarakat. APBD hanya berorientasi pada surplus anggaran dan peningkatan pendapatan daerah sendiri, Dana alokasi Umum dan dan alokasi khusus. Kurangnya pengetahuan para kepala daerah karena pemilihan langsung telah mengakibatkan kekacauan manajemen pemerintah daerah, apalagi dana pemilihan kepala daerah cukup besar dan mengeluarkan banyak tenaga, sehingga para kepala daerah lebih mementingkan pengembalian modal dan menyaluran dana bagi kelompok kepentingan yang telah membantu dalam proses pemilihan.
Peningkatan pelayanan publik hanya menjadi retorika-retorika politik saja. Namun semua ini sudah terjadi, dan bagimanakah pembenahan dilakukan, apakah menunggu rakyat lebih menderita dulu? Hal ini tidak mungkin karena penderitaan rakyat akan mengakibatkan gejolak sosial, sedangkan gejolak sosial akan merugikan rakyat pula.
Maka diperlukan adanya keinginan dan kemauan dari semua pihak untuk melakukan perbaikan disana-sini. Ancaman globalisasi dan persaingan bebas telah menghadang, apabila efisiensi tidak cepat dilakukan maka persaingan harga dengan produk asing kita kan tertinggal dan kalah, apalagi masalah kualitas. Sedangkan Indonesia merupakan pasar yang baik bagi perdagangan barang-barang konsumsi dan jasa.
Ketahanan pangan akan juga terganggu karena alih fungsi lahan, sedangkan perlindungan dan peningkatan fasilitas, kerjasama dan informasi serta peningkatan kualitas petani di Indonesia masih berkurang. Petani Indonesia harus mengalami kepayahan dlam menghadapi persaingan global, dimana hasil pertanian bangsa asing lebih murah di pasaran, sedangkan produk mereka tidak mendapat proteksi, sedangkan pupuk sangat sulit untuk didapatkan. Pola bercocok tanampun masih sangat tradisional.
Intinya bahwa perlu kesadaran bagi pengusaha dalam negeri agar tidak terlalu mengandalkan nasionalisme sempit, namun bagaimanan mereka bisa menjadikan rakyat Indonesia terutama buruh untuk bekerjasama sehingga menjadi produse dan konsumen di Negeri sendiri. Apabila rakyat Indonesia tidak mampu menjadi produsen dan hanya menjadi konsumen akan semakin meningkatkan utang luar negeri, dan pada akhirnya hilanglah kedaulatan yang telah dicita-citakan pendiri republik.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia guna meningkatan tingkat produktifitasnya menjadikan tugas pendidikan nasional Indonesia. Sedangkan pendidikan menjadi cukup mahal, dan semakin merebaknya lembaga pendidikan di luar negeri yang lebih murah dan berkualitas, sedangkan penyelewangan di dunia pendidikan cukup banyak dan banyaknya mal praktek pendidikan di Indonesia. Mampukah Indonesia keluar dari keterpurukan, hal itu tergantung mental semua pihak untuk lebih peduli pada nasib bangsa dan negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar